Syeikh abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah- berkata: juga dikisahkan dari Abu Yazid Al-Bisthami yang pernah mengatakan, “Aku mendekati medan al-laisaiyyah (ketiadaan), dan aku terus terbang selama sepuluh tahun, sehingga aku menjadi bagian dari ketidaan dalam ketiadaan dan dengan ketiadaan. Kemudian aku mendekati pada penghilangan, yang tak lain adalah medan tauhid. Aku terus terbang dengan ketidaan dalam penghilangan (tadhyi’), Sehingga aku akhirnya benar-benar lenyap dalam penghilangan. Kemudian aku hilang dalam penghilangan yang benar-benar hilang. Kemudian aku mendekati tauhid dari kegaiban makhluk yang Mahatahu dari makhluk.”
Al-Junaid –rahimahullah- berkata: semua ucapan ini dan yang sejenis masuk dalam ilmu kesaksian atas yang ghaib yang jauh bisa menemukan as-syahid. Didalamnya mengandung makna-makna fana’ dengan ghaibnya fana’ dari yang fana’.
Makna ucapan Abu Yazid, “Aku mendekati medan al-Laisaiyyah (ketiadaan), dan aku terus terbang selama sepuluh tahun, sehingga aku menjadi bagian dari ketiadaan dalam ketiadaan dan dengan ketiadaan.” Ini adalah awal kali singgahnya seorang hamba dalam hakikat fana’ dan hilang dari segala apa yang bisa dilihat dan yang tak bisa dilihat. Dan awal terjadinya fana’ adalah lenyapnya semua jejak.
Sedangkan ucapan Abu Yazid, “Ketiadaan dalam ketiadaan dan dengan ketiadaan.” Adalah hilangnya semua itu dari dirinya dan hilangnya hal itu dari hilangnya. Sedangkan makna ketiadaan dengan ketiadaan, adalah bahwa tak ada sesuatu yang bisa dirasakan dan ditemukan. Semuanya terhapus pada bentuk nama-namanya telah hilang, hilang dari apa yang bisa dihadirkan, segala sesuatu telah tertelan dalam musyahadah, maka tak ada sesuatu yang bisa ditemukan. Dan tak pula dirasakan adanya sesuatu yang hilang. Tidak ada nama yang dikenali, semuanya memang benar-benar lenyap darinya. Inilah yang disebut oleh fana’ oleh kaum Sufi. Kemudian yang fana’ itu sendiri hilang dalam ke fana’an. Hingga lenyap dalam ke fana’an. Dan ini yang disebut sebagai penghilangan yang ada dalam ketidaan dengan-Nya dalam ketiadaan.
Inilah hakikat hilangnya segala sesuatu, dan hilangnya jiwa setelah itu. Dan hilangnya kehilangan dalam kehilangan. Dan ratanya segala sesuatu dalam keterhapusan. Begitu juga hilangnya sesuatu dalam kehilangan. Ini semua tidak memiliki jangka waktu tertentu dan tidak pula waktu tertentu.
Al-junaid berkata: ucapan Abu yazid yang menyebutkan tentang waktu sepuluh tahun, dimana itu adalah waktunya, tapi itu tidak memiliki makna apa-apa. Sebab waktu dalam kondisi spiritual seperti ini sudah tak ada lagi. Dan bila waktu itu berlalu dan tak lagi memiliki makna apapun dari orang yang tidak lagi dikendalikan oleh waktu, maka ukuran sepuluh tahun, seratus tahun atau lebih adalah sama.
Al-junaid –rahimahullah- berkata: Sebagaimana yang kami terima, bahwa Abu Yazid pernah mengatakan, “Aku mendekati tauhid dalam ghaibnya makhluk dari Sang Mahatahu gan ghaibnya Sang Mahatahu dari makhluk.” Maka Al-Junaid menafsirkan ucapan Abu Yazid tersebut, bahwa kala aku mendekat dalam tauhid maka jelaslah padaku keghaiban makhluk dari Allah dan jelaslah bagiku kemahatunggalan Allah, dengan segala keagungan-Nya dari makhluk-Nya.
Kemudian Al-Junaid mengatakan, “semua kalimat dan ungkapan yang dikatan Abu Yazid ini sudah diketahui makna dan maksudnya.”
Sumber: Kitab Al-Luma' Karya Abu Nashr as-Sarraj, Hal. 765-766