14 Agustus 2011

Hakikat iman dan bagian-bagiannya

A’udzubillahi minassyaithonirrojiem Bismillahirrohmanirrohiem,
Sebelum membahas lebih jauh tentang iman, terlebih dahulu kita mengutip sebuah hadist nabi yang terkenal mengenai iman tersebut. Umar bin Khattab ra. Berkata: ketika kami berada disisi Rasulullah SAW, tiba-tiba kami didatangi oleh seorang laki-laki yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya. Tidak seorangpun diantara para sahabat yang mengenal lelaki tersebut, kemudian ia duduk disamping Nabi SAW
dan kedua lututnya disandarkan pada lutut Nabi SAW. Kedua tangannya diletakkan diatas kedua lutut Nabi SAW. Sambil menanyakan, “Ya Muhammad beritakanlah kepadaku tentang Islam?”. Kemudian dijawab oleh Nabi. Kemudian bertanya lagi: “beritakanlah padaku tentang Iman?” maka Nabi SAW menjawab yang artinya sebagai berikut:
“ Agar engkau beriman kepada Allah, para Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul-Nya, hari akhirat dan taqdir yang baik maupun buruk. Kemudian orang itu (Jibril As) membenarkan ucapan Rasulullah SAW”.

Selanjutnya orang tersebut bertanya mengenai Ihsan, maka dijawablah oleh Baginda Nabi SAW.
Iman menurut pengertian bahasa adalah kepercayaan secara mutlak (total), sedangkan menurut pengertian syar’I adalah percaya terhadap apa yang dibawa Nabi SAW dari sisi Allah YME. Secara total dengan di topang dari akal budi dan hatisanubari secara bersamaan.
Menurut Sayyid Mahmud, Iman pada dasarnya terbagi menjadi lima bagian:
1.    Iman yang sudah menjadi tabi’at
2.    Iman yang terpelihara
3.    Iman yang terkabul
4.    Iman yang masih tergantung
5.    Iman yang tertolak

Dijelaskan bahwa pada tingkat yang pertama adalah imannya para malaikat, kedua adalah iman para Nabi dan hamba-hamba pilihan, ketiga adalah Imannya orang yang beriman di antara kita, ke empat dalam konteks ini adalah imannya orang yang mempunyai landasan (tidak disandarkan pada akal dan sanubari), sedankan yang kelima adalah imannya orang-orang munafik (musrik).

Iman menurut istilah menjadi tiga bagian: Iman dzati, Iman istidali (iman yang menggunakan dalil) dan iman taqlidi (iman yang ikut-ikutan).

Iman dzati merupakan cerminan dari hati nurani yang telah terbiasa (secara dari fitroh) meng Esakan Allah SWT. Dengan penuh keyakinan. Kemudian percaya (mengamalkan dengan sepenuh hati apa yang diwajibkan secara syari’at), sehingga andaikata seluruh penduduk bumi mengingkari apa yang ia yakini, niscaya tidak bergeming dan tidak ada keraguan terhadap apa yang telah tertanam dilubuk hati. Yang demikian itu hanya akan berhasil pada saat menyatunya sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya dengan sifat kehambaan yang ia miliki. Semakin tinggi nilai manusia dihadapan Allah, maka ia akan menduduki maqom iman dan ihsan.

Imam istidlali (yang menggunakan dalil) merupakan wujud pembuktian yang diambil dari dalil-dalil yang ada terhadap suatu perbuatan atas seseorang, sekaligus jejak yang meninggalkan bekas. Sesungguhnya pada jejak yang tidak bertanda (membekas) adalah suatu kemustahilan seperti adanya kotoran unta merupakan bukti petunjuk akan adanya unta.

Iman taklidi (ikut-ikutan) adalah dasar keyakinan yang didapat dari warisan orang tua (nenek moyang). Termasuk didalamnya percaya (secara bulat, utuh). Akan kata-kata para Ulama’ dengan tidak didasari burhan (bukti) pencarian terhadap diri sendiri. Keimanan semacam ini tidak akan bertahan lama jika dihadapkan pada guncangan yang meragukan hati.
Wallahua’lamu Bisshowab…
 
(disarikan dari kitab Jamharotul Auliya’ Karya Sayyid Mahmud Abul Faidh Al-Manufi Al-Husaini)