Prof. DR. KH. HUSEN AZIZ. M.Ag (Guru Besar IAIN Sunan Ampel-Surabaya)
Puasa Ramadhan sebulan penuh telah kita tunaikan dan akhimya kita kembali kepada fitrah (Ied al-fitri), kembali suci dari dosa dan noda. Sebagai rasa syukur kepada Allah SWT, atas anugerah besar ini, pagi ini kita bertakbir dan bertasbih, mengagungkan nama-Nya. Pertanyaannya adalah apa manfaat Puasa Ramadhan dalam kehidupan kita selain dari kebersihan dari dosa itu?
Dimensi Ubudiyah
Puasa memiliki nilai yang sangat tinggi dalam kehidupan kita di dunia dan di akhirat. Rasulullah bersabda: surga itu memiliki pintu yang bernama Royyan hanya diperuntukkan bagi orang rang yang berpuasa. Pada hadist lain riwayat Aisyah dikemukakan: Ketuklah selalu pintu surga itu, lalu Aisyah bertanya, dengan apa? dengan puasa. Surga di sini bukan hanya surga di akhirat tetapi juga surga di dunia. Mengapa begitu besar nilai puasa itu? Apakah karena lapar, dan hausnya atau karena beratnya? bila karena lapar dan hausnya orang bertapa lebih berat dan lebih lama waktunya, nilai orang puasa tinggi karena orang berpuasa itu menyerahkan dirinya dipimpin Allah SWT, ia berpuasa karena iman kepada Allah sWT, dia makan dan tidak makan, berbuat sesuatu dan tidak melakukan sesuatu disesuaikan dengan perintah dan larangan Allah. Pada galibnya manusia itu dipimpin oleh perutnya dan kemaluannya.
Iman adalah kepercayaan dan kesetiaan kepada hal yang dianggap terpenting, memiliki nilai atau harga teringgi. Nilai tertinggi itu memberi aturan kepada seluruh kehidupannya. Bila Allah SWT. bagi seorang merupakan nilai, harga dan andalan tertinggi dan terpenting dalam hidupnya, ia akan mengikuti aturannya dalam seluruh kehidupannya, Karena seorang yang memegang nilai merasa nilai itu yang memberi nilai dan harga kepada hidupnya. Bila nilai tertinggi bagi seorang itu adalah perutnya, maka harga atau nilai orang itu sama dengan nilai isi perutnya, bila nilai teringgi bagi manusia itu adalah kemaluannya (seksual), maka harga atau nilai orang itu sesuai dengan nilai atau harga yang ia pegangi. Bia Allah yang menjadi nilai tertingginya, maka harga atau nilai orang itu sesuai dengan apa yang ia cari. Seorang bijak mengatakan anda adalah apa yang anda cari, pikiran anda adalah apa yang anda inginkan.
Memang di sana ada beberapa hal yang bernilai bagi manusia; dirinya, keluarga, jabatan, harta kekayaan, ilmu pengetahuan dan Allah SWT. Akan tetapi bila manusia itu ingin hidupnya berharga dan bernilai tinggi. dan mulia akan hal-hal yang bernilai itu harus diletakkan di bawah nilai Allah SWT. Bila nilai Allah (nilai utama) diletakkan di bawah nilai -nilai yang lain, di bawah nilai harta, keluarga, jabatan dan ilmu pengetahuan dan lain-lain, maka akan meyebabkan konflik-konflik besar dalam kehidupan. Korupsi, perselingkuhan, kekerasan, kesombongan, ketamakan dan permusuhan karena meletakan nila atau harga selain Allah SWT di atas nilai Allah.
Manusia sedih, gelisah dan cemas karena mengandalkan dirinya di atas Allah SWT. Orang bakhil karena mengandalkan harta kekayaannya di atas Allah SWT. Kehancuran manusia karena memegang nilai-nilai selain Allah diatas nilai Allah. Allah berfirman:
(Seandainya di langit dan di bumi itu ada tuhan-tuhan selain Allah maka langit dan bumi itu akan hancur).
Diri sendiri, keluarga hata kekayaan, ilmu pengetahuan, jabatan dan kebangsaan itu bernilai, berharga, penting dan perlu. Akan tetapi harus di bawah nilai AIlah SWT, supaya hidup ini bernilai dan mulia. Dan jangan membatasi nilai utama (AlIah SWT) hanya di aspek keagamaan akan tetapi nilai Allah itu harus meliputi semua aspek kehidupan. Jangan hanya di masjid menjunjung tinggi nilai Allah SWT. sementara di pasar menunjung nilai uang di atas segalanya, di dunia politik menjunjung tinggi kemenangan dan kekuasaan.
Dengan demikian Puasa itu berarti meletakkan nilai Allah diatas nilai egoisme baik egoisme pribadi maupun keluaga dan golongan bahkan menghilangkannya
Menghilangkan egoisme
Manusia pada abad sains dan teknologi ini telah menunjukkan keberhasilan besar dalam berbagai bidang kehidupan eksternalnya, tetapi secara internal ia masih menjadi tawanan egonya bahkan sekarang lebih buruk dari masa sebelumnya. Meskipun manusia saat ini telah mampu membebaskan diri dari tawanan alam, sejarah dan sosial karena sains yangi dimilikinya, akan tetapi tetap terbelenggu oleh gelapnya egonya, ia adalah manusia modern yang telah memahami apa yang harus ia lakukan untuk menyelesaikan masalah kehidupannya, akan tetapi ia tidak mengetahui bagaimana keluar dari berbagai kegelapan egonya yang rendah.
Mengapa suit keluar dari tawanan egoisme itu? karena egoisme itu tidak konkret, lokasinya tidak jelas, tidak dapat dipetakan dan tidak dapat di ukur. Egoisme merupakan penjara yang ada pada diri manusia dan tidak dapat dpisahkan. Sains tidak dapat menolong manusia bebas dari egoisme ini, bankan sains dan manusia sendiri menjadi tawanan egosme ini. Oleh karena itu, di tengah-tengah kemajuan zaman ini, kita temukan kekerasan, kelalilam dan kejahatan serta pembunuhan lebih besar dan lebih hebat dan mengerikan dari pada abad yang belum mengenal sains dan teknologi.
Pembebas manusia dari egoisme satu-satunyanya adalah iman kepada Allah, bukan ilmu atau sarana lainnya. Cinta yang lahir dan iman adalah suatu kekuatan yang melahirkan pengorbanan yang membuat yang merasakannya mau mengorbankan seluruh miliknya, kepentingannya, bahkan mau mengorbankan hidupnya demi ia cintai dan cita yang ia perjuangkan. Ini prinsip moral, selama masih ada egoisme, mengutamakan diri, keluarga, kelompok, bangsa selama itu pula tidak akan ada akhlak mulia. Hanya orang yang dapat menghilangkan egoisme itulah yang dapat memiliki ahklak yang mulia dan itulah manusia dengan kata yang sebenamya.
Dimensi Sosial Ekonomi
Lima ayat pertama dari Surat Al-Baqarah merupakan kerangka umum nilai-nilai taqwa dan menentukan dimensi-dimensi pokok dan nilai taqwa, yaitu dimensi akidah, intinya keimanan kepada Allah, dimensi ibadahnya intinya adalah mendirikan shalat dan dimensi sosial intinya adalah keseimbangan ekonomi (membayar zakat).
Membayar zakat dan memberikannya kepada yang membutuhkannya. Kewajiban membayar zakat menunjukkan bahwa kita harus memiliki sikap mental memberi, membantu sesamanya. Dimensi ini merupakan realisasi atau buki nyata dari aspek akidah dan keagamaan kita. Karena tuiuan pertama dari ajaran islam yaitu kelangsungan hidup manusia menyusul tujuan kedua yaitu peningkatan kualitas manusia melalui akidah dan aspek keagamaan berupa Shalat, Puasa dan Haji. Bila kelangsungan hidup itu gagal digapai, maka kedua tujuan itu akan gagal. Dalam Fiqh Islam dinyatakan; shihhat al-abdan muqaddamatun ala shihhat al-adyan (Kesehatan badan di utamakan atas kesehatan agama). Dalam ilmu jiwa disebutkan bahwa kebutuhan fisik untuk kelangsungan hidup manusia menempati posisi terbawah sementara kebutuhan realisasi diri untuk peningkatan kualitas manusia menempati posisi tertinggi, Hanya saja tidak mungkin mencapai jenjang tertinggi kecuali dengan melewati jenjang terendah. Setiap gagasan atau pernikiran yang tidak memperhatikan dimensi sosial ekonomi akan berdampak negatif dan bahkan mengantarkannya kepada kekufuran. Standar yang dikemukakan al-Quran untuk mengukur keutamaan antara manusia adalah taqwa; inna akramakum indallahi atqokum (Al-Hujurat 13). (Sesungguhnya orang termulya di antara kalian menurut pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa). Sementara orang bertaqwa adalah orang kaya yang shaleh yang menginfakkan hartanya sebagai sarana untuk mensucikan jiwa dan hartanya dan untuk memenuhi perintah Allah SWT. Allah berfirman: dalam Surat Al-Layl 17-20 Yang artinya orang yang bertaqwa adalah orang yang menginfaqkan hartanya untuk membersihkan jiwa dan hartanya padahal tidak ada seorang memberikan suatu nikmat kepadanya, tetapi ia memberikan itu semata-mata mencari keridhoan Tuhannya yang Maha Luhur.
Rasulullah SAW menjadikan dimensi sosial ekonomi sebagai inti pokok nilai taqwa. Sabda nabi: la basa bi al-ghina li man taqqa (tidaklah berbahaya kekayaan itu bagi orang yang bertaqwa). Nabi sendiri meniadakan nilai taqwa dari orang yang mengabaikan nilai taqwa dalam masalah harta dan ekonomi (tidak menyumbangkan pada sesamanya), Sabda Nabi: fa huwa yakhbihtu fi malihi bi ghairi ilmin la yattaqy fihi rabbahu. (HR. Ahmad).
Berangkat dari aspek sosial ekonomi ini, Abu bakar, khalifah muslimin pertama menolak keislaman orang yang melakukan sholat tanpa membayar zakat. Umar Ibnu Katthab menolak kesaksian orang yang menjadikan ibadah seseorang sebagai ukuran taqwa seseorang. la berkata: boleh jadi anda melihatnya menggelengkan kepalanya di masjid, Apakah anda pernah bepergian denganya? Apakah anda pernah berurusan dengannya dengan mata uang dirham dan dinar yang dengannya anda dapat mengetahui dengan jelas perilaku seseorang. Jelasnya taqwa seseorang tidak dapat diukur dengan akidah yang diyakininya dan amalan ibadah yang dilakukannya, tetapi ketaqwaan seseorang itu diukur sejauh mana ia menginfakkan kekayaannya untuk membantu sesamanya, sejauh mana ia membantu orang lain sejauh mana ia dapat merealisasikan aspek sosial ekonominya dalam kehidupan nyata.
Dalam suatu hadist disebutkan bahwa suatu hari, Abu Bakar As-shiddiq Mertua Rasulullah datang ke rumah Aisyah, putrinya. la bertanya adakah amalan Rasulullah yang belum saya lakukan? Aisyah menjawab: Sejauh saya tahu ayah adalah orang paling banyak melakukan apa yang dilakukan Rasulullah. Hanya saja ada satu hal yang belum ayah lakukan. Apa itu? kata Abu Bakar bertanya. Perbuatan itu adalah Rasulullah setiap pagi setelah menunaikan shalat subuh memberi makan seorang Yahudi tua dan buta di suatu tempat tidak jauh dari pojok Masjid Madinah. Esok paginya ia ingin melakukan apa yang telah dilakukan Rasulullah. Dibawanya sebungkus makanan dan dicarinya Yahudi tua buta itu. Akhimya ia temukan, lalu disuapinya Yahudi tua itu. Setelah beberapa suapan, Yahudi buta itu menangis. Melihat itu Abu Bakar bertanya Mengapa menangis? Yahudi itu berkata: Aku belum pernah mendapat suapan sekasar ini. Lalu Abu Bakar berkata: Orang yang menyuapimu sebelumku itu adalah Rasulullah SAW, sementara beliau sudah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu. Kemudian aku menggantikannya. Mendengar informasi dari Abu Bakar itu ia pun bertambah menangis seraya berkata: Ternyata selama ini yang menyuapiku adalah Rasulullah? Tolong ajarkanlah kepadaku Islam. Rupanya si Yahudi buta tua itu tidak kenal Rasulullah yang selalu menyuapinya.
Lebih jauh Al-Quran pada Surah At-Taubah 129 menyatakan dalam mendeskripsikan karakter nabi: Telah datang kepada kalian seorang Rasul (Muhammad) dari kalian, ia berkorban untuk orang lain, ingin menyelamatkan orang lain dan menyayangi orang lain. Rasulullah mengutamakan tanggung jawab sosial dari pada haknya. Salah satu faktor terjadinya kerusuhan dan kekerasan sosial, karena masing-masing pihak menuntut haknya dan melupakan tanggung jawabnya. Tanggung jawab itu bukan hanya melaksanakan kewajiban akan tapi ingin memberi orang lain, menyelamatkan orang lain dan menyayangi orang lain.
Akhirnya mudah-mudahan khutbah ini ada manfaatnya dalam membangun kehidupan yang sehat dan baik dan kembali ke kehidupan fitri. Barakallahu ly wa lakum wa nafaany wa iyyakum innahu taala raufun rahim.